Senin, 16 September 2013

Hukum: Subyek Hukum Penggugat Dan Tergugat Serta Perkembangan Subyek Dan Obyek Hukum Dalam Yurisprudensi Tun



Ketentuan normatif mengenai sengketa Tata Usaha Negara di atur dalam Pasal 1 butir 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Pasal tersebut memberikan batasan pengertian sengketa Tata Usaha Negara, yaitu sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarnya Keputusan TUN, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari batasan pengertian pasal tersebut, maka dalam sengketa tata usaha negara subyek hukumnya terdiri dari :

1. Penggugat : yaitu orang atau badan hukum perdata.

2. Tergugat : yaitu Badan atau Pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah.

 
  • Penggugat

Penggugat adalah orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan TUN (Pasal 53 ayat 1 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004).
Badan hukum perdata di sini adalah murni Badan yang menurut pengertian hukum perdata berstatus sebagai badan hukum. Jadi bukan lembaga hukum publik yang berstatus sebagai badan hukum, seperti Propinsi, Kabupaten, Departemen, dan sebagainya.
Jadi, orang atau badan hukum perdata tersebut secara hukum sebagai pendukung (pemangku) hak-hak dan kewajiban, sehingga atas dasar itu mempunyai legal standi untuk mempertahankan kepentingan yang dirugikan oleh suatu Keputusan TUN dengan cara mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Apabila Penggugat meninggal dunia, maka ahli warisnya dapat melanjutkan gugatannya sepanjang dapat membuktikan adanya kepentingan untuk itu.
Di dalam perkembangan dimungkinkan Pejabat TUN dapat menjadi Penggugat bertindak mewakili instansi Pejabat TUN tersebut dalam mempermasalahkan prosedur penerbitan Keputusan TUN yang ditujukan kepada instansi Pemerintah yang bersangkutan.
Misalnya, mengajukan gugatan terhadap Keputusan TUN tentang Pencabutan Surat Ijin Penghunian (SIP) yang ditempati instansi Pemerintah, mengajukan gugatan terhadap Keputusan TUN yang berisi perintah bongkar bangunan milik instansi Pemerintah, mengajukan gugatan terhadap pembatalan sertipikat tanah milik instansi Pemerintah, dan sebagainya (lihat Buku II, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara, halaman 44).
  •   Tergugat
Tergugat adalah Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang diguguat oleh orang atau badan hukum perdata (vide Pasal 1 butir 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986).
Badan atau Pejabat TUN adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (vide Pasal 1 butir 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 ).
Yang dimaksud dengan “urusan pemerintahan“ adalah kegiatan yang bersifat eksekusif. Dengan demikian kegiatan-kegiatan lain di luar kegiatan yang bersifat eksekusif tersebut terutama yang masuk dalam pengertian kegiatan legeslatif dan yudikatif, tidak masuk di dalam pengertian “urusan pemerintah“.
Urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, yaitu semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah yang juga bersifat mengikat secara umum.
Apa yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat TUN dalam praktek Peradilan Tata Usaha Negara selama ini menganut kriteria fungsional. Jadi ukurannya adalah, – sepanjang Badan atau Pejabat TUN tersebut – “berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan yang dikerjakan berupa kegiatan urusan pemerintahan”. Sehingga tolok ukurnya adalah asalkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (dhi. berdasarkan ketentuan hukum baik yang tertulis atau yang tak tertulis untuk memenuhi asas legalitas tindakan pemerintah) dan yang dikerjakan berupa kegiatan urusan pemerintahan.
Konsekuensi dari kriteria fungsional adalah, pengertian Badan atau Pejabat TUN menjadi tidak terbatas pada Badan-Badan atau Pejabat-Pejabat di lingkungan eksekutif yang dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara, akan tetapi siapa saja asalkan kepadanya diletakkan kewenangan untuk menjalankan fungsi pemerintahan atau melakukan kegiatan urusan pemerintahan, maka terhadap Keputusan TUN yang dikelurakannya pada prinsipnya dapat saja di jadikan obyek sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara, asalkan ada dasar wewenangnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Beberapa Catatan Dapat Diungkapkan Dari Praktek Peradilan Tata Usaha Negara Menyangkut Subyek Dan Obyek Hukum
Dalam Yurisprudensi.
1.  Pengertian Badan atau Pejabat TUN Cenderung Memakai Kriteria Fungsional.
Beberapa contoh dapat dikemukakan, yaitu Keputusan pemecatan Dosen oleh Rektor Universitas swasta (kasus Arif Budiman), Keputusan-Keputusan yang diterbitkan oleh BUMN,BUMD,BPPN, dan sebagainya.
Namun dalam perkembangan yurisprudensi, kriteria fungsional tentang Badan atau Pejabat TUN mulai selektif diterapkan dengan melihat instrumen hukum yang melandasi hubungan hukum antara Badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan dengan orang atau badan hukum perdata yang dikenai Keputusan tersebut.
Mahkamah Agung dalam putusan-putusannya mulai mengoreksi putusan sebelumnya, misalnya tentang hubungan hukum antara Rektor atau Dekan perguruan tinggi swasta dengan Dosen di lingkungan universitas swasta tersebut dengan melihat pada kriteria instrumen hukum yang melandasi hubungan hukumnya (dhi. hubungan hukum perikatan/keperdataan ataukah memang melekat padanya hubungan hukum publik/pemerintahan).
Di samping itu, sebenarnya sesuai asas legalitas kewenanangan dalam kaitannya dengan Tergugat di dalam sengketa Tata Usaha Negara, adalah apakah ada dasar hukum kewenangan yang dimilikinya yang diberikan oleh undang-undang terhadap badan-badan swasta (baik secara expersis verbis maupun atas dasar pelimpahan-delegasai wewenang), untuk menjalankan fungsi pemerintahan.
Mahkamah Agung beranggapan bahwa sengketa Tata Usaha Negara yang diajukan yang menyangkut sanksi-sanksi pemutusan atau pemberhentian dosen pada universitas swasta, dengan melihat hubungan hukum yang melandasinya. Sepanjang bersifat keperdataan, Pengadilan Tata Usaha Negara tidak berkompeten untuk mengadilinya. Dalam hal ini juga termasuk Badan-Badan Usaha Milik Negara/Daerah yang menerbitkan sanksi-sanksi adminitrasi terhadap Pejabat atau Karyawan di lingkungannya.
2. Notaris / PPAT
Notaris/PPAT, pada awalnya digolongkan sebagai Badan atau pejabat TUN yang menjalankan urusan pemerintah. Pada awal Peradilan Tata Usaha Negara ini berjalan, para Hakim TUN melalui putusan-putusannya berpendapat bahwa produk Keputusan Notaris/PPAT dapat diuji keabsahannya oleh Hakim Tata Usaha Negara, namun dalam pekembangannya pendapat ini mengalami elaborisasi dalam putusan Hakim yang menyatakan meskipun Notaris/PPAT adalah Pejabat TUN tetapi produk keputusannya (dhi. akta jual beli tanah) tidak termasuk Keputusan TUN, karena akta Notaris/PPAT secara yuridis formal, materi muatannya hanyalah sekedar menuangkan perbuatan hukum perdata (jual beli atas tanah dalam akta PPAT), sehingga tidak dapat disebut sebagai suatu Keputusan TUN. Akan tetapi apabila Notaris/PPAT menolak untuk menerbitkan akta jual beli tanah, oleh beberapa Hakim Tata Usaha Negara penolakan Notaris/PPAT dapat digolongkan sebagai Keputusan TUN yang fiktif-negatif.
Dalam perkembangannya pendapat tersebut berubah oleh pendapat Mahkamah Agung, bahwa Notaris/PPAT tidak dapat digolongkan sebagi Badan atau Pejabat TUN, karena dalam suatu wilayah adminitrasi Notaris/PPAT terdapat beberapa atau banyak Notaris/PPAT yang diberikan kewenangan sebagai Pejabat umum di bidang pembuatan akta-akta otentik jual beli tanah di wilayah adminitrasi yang bersangkutan. Konsekuensi hukumnya bagi orang atau badan hukum perdata ada pilihan terhadap Notaris/PPAT mana dia akan meminta dibuatkan akta jual beli tanah. Sehingga penolakan Notaris/PPAT untuk tidak mau membuat akta Notaris/PPAT tidak berakibat merugikan kepentingan pihak-pihak yang membutuhkan.
Dengan demikian Notaris/PPAT tidak memenuhi kriteria Badan atau Pejabat TUN, karena setiap wewenang Badan atau Pejabat TUN selalu dibatasi oleh locus, tempus, dan materi. Padahal dalam wilayah adminitrasi Notaris/PPAT, terdapat lebih dari seorang Notaris/PPAT yang diberi kewenangan untuk menjalankan profesinya.
Namun, dalam kerangka ius constituendum (dhi. RUU Adminitrasi Pemerintahan) Notaris/PPAT digolongkan sebagai Pejabat adminitrasi pemerintahan.
3. Pergeseran Pendapat Hukum Dengan Melihat Obyek Gugatan Dan Permasalahan Hukum Yang Dimintakan Diputus Oleh Hakim.
Pada mulanya Hakim Tata Usaha Negara beranggapan semua produk Keputusan TUN sepanjang diterbitkan oleh Badan atau Pejabat TUN dapat periksa oleh Hakim Tata Usaha Negara. Misalnya dalam kasus-kasus yang menyangkut BPPN pada awalnya Hakim TUN tidak mempersoalkan materi persoalan yang dimintakan diputus oleh Hakim TUN dan hanya melihat bahwa BPPN sebagai Badan Tata Usaha Negara sehingga produk Keputusan TUN yang diajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara dapat diperiksa materi muatannya oleh Hakim Tata Usaha Negara.
Dalam perkembangannya, Mahkamah Agung berpendapatan dengan melihat pada materi persoalan yang diminta diselesaikan atau diputus oleh badan peradilan. Jika persoalan yang diajukan oleh Penggugat adalah menyangkut persoalan-persoalan tentang aspek-aspek keperdataan, seperti peralihan piutang-piutang (cessie) atau keberatan/ketidakcocokan jumlah hutang yang ditagihkan atau harus dibayar dan sebagainya, maka Keputusan TUN yang demikian tidaklah termasuk Keputusan TUN dan lebih bersifat Keputusan TUN yang merupakan perbuatan hukum perdata (Pasal 2 huruf a Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004).
Lebih lanjut tentang hal ini lihat Putusan Mahkamah Agung No.447K/TUN/2000.
Masih dalam kaitannya dengan obyek gugutan dan permasalahan hukum yang diminta diputus oleh Hakim, dalam kasus-kasus yang menyangkut Keputusan TUN yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Lelang Negara, Mahkamah Agung berpendapatan “risalah lelang bukan Keputusan TUN yang dapat dijadikan obyek sengketa Tata Usaha Negara”, karena risalah lelang hanya merupakan catatan tentang jalannya pelelangan dan tentang pelelangan adalah perbuatan hukum keperdataan, maka jika terhadap hal itu ada pihak-pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan perdata pada Peradilan Umum dengan mendasarkan pada pasal 1365 KUH Perdata sebagai perbuatan melawan hukum oleh Penguasa (OOD) kepada kantor lelang yang bersangkutan.
Lebih lanjut tentang hal ini lihat Putusan Mahkamah Agung No.151K/TUN/1999.
4. Pergeseran Pendapat Oleh Pengaruh Doktrin Hukum Dan Perubahan Norma Hukum Positif Dalam Undang-Undang.
a. Pada awalnya Keputusan-Keputusan TUN yang menyangkut prosedur pemilihan baik di pusat maupun di daerah sepanjang tidak mengenai Keputusan Panitia Pemilihan sebagaimana dimaksud oleh pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986, Hakim TUN berpendapat Keputusan TUN tersebut menjadi kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara.
Dalam perkembangannya Mahkamah Agung berpendapat, sesuai doktrin hukum adminitrasi, keputusan-keputusan di bidang politik tidak termasuk Keputusan TUN, sehingga dengan melihat pada tindakan-tindakan yang mendasari diterbitkannya Keputusan TUN dalam rangka pemilihan, baik dari segi prosedur maupun materinya tidak dapat digolongkan sebagai tindakan di bidang fungsi penyelenggaraan urusan pemerintahan, maka produk Keputusan TUN nya tidak dapat dinilai oleh Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (lihak SEMA No.8 Tahun 2005 Jo. Putusan Mahkamah Agung No.482K/TUN/2003).
b. Di samping itu ada perubahan norma hukum positif dalam undang-undang, yaitu ketentuan Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 diubah oleh ketentuan Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, yang menyatakan Keputusan KPU baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil Pemilihan Umum tidak termasuk dalam pengertian Keputusan TUN.
Dengan demikian, menyangkut kasus-kasus dibidang politik seperti Keputusan TUN obyek sengketa tentang pengesahan kepengurusan Partai Politik, pemecatan anggota atau pengurus Partai Politik tertentu oleh DPP/DPD Partai Politik yang bersangkutan, bukanlah termasuk Keputusan Badan atau Pejabat TUN menurut ketentuan pasal 1 butir (3) Undang-Undang PERATUN, karena kegiatan partai politik tidak dapat digolongkan sebagai kegiatan fungsi urusan pemerintah.
Untuk hal ini lebih lanjut lihat Putusan Mahkamah Agung No.190K/TUN 1997 Jo. No. 77/BGD-G.PD/PT. TUN-MDN/1996 Jo. No. 06/G/1996/ PTUN-PDG.
5. Teori  Melebur. Pada awalnya Hakim TUN tidak melihat pada jangkauan yang dituju oleh Keputusan TUN yang menjadi obyek gugatan, padahal di dalam praktek dijumpai Keputusan TUN yang materi muatannya bertujuan untuk mengakhiri atau melahirkan hak-hak keperdataan terhadap seseorang atau badan hukum  perdata. Dalam hal ini Mahkamah Agung berpendapat dengan memakai teori melebur bahwa terhadap Keputusan TUN yang bersifat demikian itu dianggap melebur ke dalam perbuatan hukum perdatanya.
Berbeda dalam hal sengketa TUN yang berkaitan dengan Operasi Pemulihan Aliran Listrik (OPAL). Dalam hal ini hubungan hukum antara PLN dengan pelanggan adalah bersifat keperdataan, tetapi oleh karena PLN diberi wewenang berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk memutus secara sepihak aliran listrik pada waktu melakukan OPAL, maka tindakan pemutusan aliran listrik secara yang dilakukan PLN atas dasar OPAL tersebut dapat mejadi obyek sengketa TUN, karena dasar yang dipakai melakukan tindakan dalam OPAL adalah hukum publik.
Untuk  hal  ini lihat Putusan Mahkamah  Agung No.300 K/TUN/ 1998.

6. Pendapat Yang Berkembang Tentang Kemungkinan Penggugat Dalam Senketa TUN Adalah Badan Hukum Publik.
Sementara itu terdapat pendapat yang berkembang di kalangan Hakim TUN tentang dimungkinkannya Badan atau Pejabat TUN dalam rangka mempertahankan hak-hak keperdataan yang menyangkut aset-aset yang dimiliki oleh badan hukum publiknya dapat bertindak secara hukum untuk mewakili badan hukum publiknya mengajukan gugatan terhadap Keputusan TUN yang merugikan asset-aset badan hukum publik yang bersangkutan.
Tentang perkembangan pendapatan ini, secara kasus per kasus pada Hakim yang mengadili sengketanya, hal ini disebabkan sudah masuk dalam ranah kemandirian Hakim di dalam memutus sengketanya. Namun hendaknya disertai argumentasi logis dengan berpijak pada ketentuan normatif yang diatur dalam undang-undang sebelum melangkah masuk ke dalam proses mengadili pokok sengketanya.

Hukum: Tinjauan Yuridis Penerapan Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali





Tinjauan Yuridis Penerapan Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali Menurut Doktrin Kekhususan Yang Sistematis

Pembangunan nasional Indonesia untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 telah mencapai berbagai kemajuan termasuk di bidang ekonomi dan moneter, sebagaimana tercermin pada pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan tingkat inflasi yang terkendali. Sementara itu, dalam pembangunan tersebut terdapat kelemahan struktur dan sistem perekonomian Indonesia yang menimbulkan penyimpangan-penyimpangan antara lain ketidakhati-hatian dan kecurangan dunia perbankan dalam pengelolaan suatu bank. Hal tersebut semakin diperparah dengan kurang memadainya perangkat hukum, lemahnya penegakan hukum sehingga mengakibatkan banyaknya distorsi, pada akhirnya terjadi penyimpangan dari praktik ekonomi pasar yang mengakibatkan semakin lemahnya fondasi perekonomian nasional.
Salah satu bentuk penyimpangan dalam praktik perbankan yang cukup fenomenal yang pernah terjadi di Indonesia adalah kasus Bank Global Tbk. Dalam kasus ini, pengurus dan sekaligus pemilik bank tersebut melakukan praktik tidak patut yang dilakukan oleh seorang bankir dan merupakan tindakan kriminal dari kacamata hukum. Serangkaian praktik memelukan dan berbau kriminal telah terjadi pada bank tersebut. Mulai dari tidak bersedia memberikan dokumen dan tidak mau memberikan keterangan kepada Bank Indonesia (BI) sebagai pengawas perbankan, berupaya memusnahkan dokumen sampai menerbitkan surat berharga fiktif.
Dalam literatur ilmu hukum pidana, ada berbagai istilah bagi kejahatan atau tindak pidana yang terjadi di bidang perbankan. Di antaranya tindak pidana perbankan, tindak pidana di bidang perbankan, kejahatan di bidang perbankan, dan lain-lain. Hal ini disebabkan karena hingga saat ini belum ada satu Undang-Undang pun yang merumuskan secara yuridis apa yang dimaksud dengan tindak pidana di bidang perbankan.
Terhadap persoalan ini, menjadi relevan dimunculkan pertanyaan kapan suatu pelanggaran Undang-Undang Perbankan dapat dijerat dengan ketentuan UU Perbankan? Kemudian , dalam hal-hal apa tindak pidana dibidang perbankan dapat dijerat dengan ketentuan tindak pidana korupsi?
Aturan hukum yang memuat asas lex specialis derogate legi generali dilihat menurut teori sistem hukum dari Hart, termasuk kategori rule of recognition. Mengingat asas ini mengatur aturan hukum mana yang diakui abash sebagai suatu aturan yang berlaku. Dengan demikian, asas ini merupakan salah satu secondary rules, yang sifatnya bukan mengatur perilaku sebagaimana primary rules, tetapi mengatur (pembatasan) penggunaan kewenangan (aparat) negara dalam mengadakan suaru represi terhadap pelanggaran atas aturan tentang perilaku tersebut.
Sebagai asas yang mengatur penggunaan kewenangan, dilihat dari teori tentang criminal law policy dari Ancel, asas lex specialis derogat legi generali merupakan asas hukum yang menentukan dalam tahap aplikasi (application policy). Artinya, persoalannya bukan berkenaan dengan perumusan suatu kebijakan tentang hukum (formulation policy), tetapi berkenaan dengan game-rules dalam penerapan hukum. Dalam hal ini, asas ini menjadi penting bagi aparat penegak hukum apakah suatu peristiwa akan diterapkan aturan yang “ini” atau yang “itu”. Sementara, yang “ini” atau “itu” tersebut ditentukan oleh manakah aturan diantara aturan-aturan tersebut yang bersifat umum, sedangkan manakah aturan-aturan yang lain yang bersifat khusus.
Berdasarkan uraian diatas, dikaitkan dengan putusan Pengadilan Negeri NO. 2068/PIDANA BIASA/2005/PN JAKARTA SELATAN, yang membebaskan Neloe, CS karena tidak terbukti melakukan perbuatan korupsi dan Putusan Mahkamah Agung Indonesia No. 1144 K/Pid/2006 yang kemudian menghukum Neloe CS dengan hokuman 10 Tahun Penjara, karena terbukti perbuatan terpidana telah melanggar Undang-undang Korupsi. Penulis berkesimpulan bahwa Mahkamah Agung telah mengabaikan dan melanggar doktrin specialite sistematische.
Dengan keputusan ini Mahkamah Agung telah menyatakan diri secara tegas bahwa undang-undang Perbankan sebagai undang yang bersifat umum, sedangkan undang-undang korupsi merupakan ketentuan yang lebih khusus. Meminjam istilah Andi Hamzah, dengan demikian undang-undang korupsi bisa mengonsumir, mendesak dan menghabiskan ketentuan undang-undang perbankan (lex consumens derogat legi consumtae).
Disinilah hal yang menjadi keberatan penulis terhadap putusan Mahkamah Agung, karena Mahkamah Agung telah menghilangkan ketentuan hukum perbankan secara semena-mena, tanpa mempertimbangkan dampak ketidak pastian hukum yang ditimbulkan dalam putusan tersebut.
Padahal, apabila kita merujuk sejarah lahirnya undang-undang perbankan, jelas terlihat bahwa lahirnya Undang-undang Perbankan ditujukan untuk menggantikan Penuntutan Kejahatan Perbankan dengan sarana hukum tindak pidana korupsi.
Dengan bahasa lain dapat dikatakan bahwa lahirnya undang-undang perbankan ditujukan agar kedepan kasus-kasus tindak pidana perbankan yang terjadi dapat dijerat dengan undang-undang perbankan. Hal ini dikarenakan adannya “kesadaran bersama” bahwa susbtansi Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No 3 Tahun 1971, lebih merupakan kehendak politik (political will) pemerintah untuk memberantas korupsi dari pada hasil kerja suatu perundang-undangan. Terlebih, dalam perdebatan-perdebatan mengenai rancangan undang-undang tersebut tidak pernah terdapat pembicaraan bagaimana sebaiknya suatu tindak pidana dirumuskan. Konsekwensi yuridis selalu dilupakan.
Tetapi seperti dikatakan oleh Hart dan Peters, yang dikutip oleh Davit Downes,
The paradigm now constituted a problem rather than a solution : not waiving but drowning. The public prosecutorial ‘executive’ had re-organized and re-orianted the criminal justice process from a case to a policy basis. The executive has become the prime mover in the criminal justice sphere.
Akibatnya dalam penerapan dan penegakan hukumnya selalu menimbulkan kejanggalan-kejanggalan, atau bahkan menyiratkan ketidak-adilan. Jika demikian maka putusan yang dihasilkan malah mengaburkan substansi norma-norma yang seharusnya dilindungi dari undang-undang tersebut.
Dari perkara ini, kejanggalan yang terlihat adalah hakim dalam memutus perkara lebih menitik beratkan pertimbangan unsur merugikan keuangan negara ketimbang pelanggaran pasal 49 ayat 2 undang-undang perbankan. Padahal unsur kerugian keuangan negara yang dimaksud juga masih bisa diperdebatkan.
Dari hal tersebut diatas, dalam kasus Neloe, penulis ingin mengatakan bahwa penerapan hukum tindak pidana perbankan sebagai tindak pidana korupsi dalam penegakan hukum pidana di Indonesia telah melanggar ketentuan sistematische specialite sebagai secondary rules yang harusnya dipatuhi.
Akibat putusan ini, Mahkamah Agung telah berkontribusi mendeligitimasi undang-undang perbankan, karena putusan ini berimplikasi terhadap habisnya kepentingan-kepentingan hukum yang ingin dilindungi oleh undang-undang perbankan .
Padahal, menurut Lili Rasjidi, mengutip pendapat Roscoe Pound mengklasifikasikan kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum dalam 3 katagori pokok : Public Interest (kepentingan umum), social interst (kepentingan masyarakat), private interst (kepentingan pribadi).
Dari hal-hal yang telah dijelaskan terdahulu, penulis ingin membuktikan beberapa hal, yaitu :
Pertama ; penerapan dan penegakan hukum tindak pidana perbankan dalam kasus Neloe bersifat sangat luas dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Karena disamping perbuatan yang dilakukan tersangka secara normatif tidak berkualifikasi tindak pidana korupsi, jika ditinjau dari pasal 14 UU No 31 Tahun 1999 Jo UU 20 tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi. Juga hal yang seharusnya dipertanggungjawab kan kepada pelaku tidak dibuktikan di persidangan. (pasal 49 ayat 2 UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan).
Kedua, pertimbangan-pertimbanagn hukum putusan pengadilan sama sekali mengabaikan asas-asas hukum pidana, sehingga terkesan hakim bebas menerapkan semua ketentuan perundang-undangan selama hal tersebut didalilkan dalam tuntutan jaksa penuntut umum.
Ketiga, menimbulkan persepsi bahwa undang-undang perbankan bisa serta merta dikesampingkan oleh undang-undang korupsi, dengan kata lain undang-undang ini tidak berkaitan satu sama lain dalam satu sistem hukum.
Keempat, menumbuhkan sikap tidak menghormati undang-undang.
[1] Chairul Huda, Op., cit
[2] Dalam putusan baik di Pengdilan Negeri Jakarta Selatan Mupun di MA, pada akhirnya Mahkamah Agung telah membuat suatu ukuran penerapan hukum pertanggungjawaban pidana, yang tidak berdasarkan suatu ketentuan sytimathice specialite. Hal ini dapat dilihat dari pertimbangan hukum pengadilan Negeri dan MA (seperti disebutkan diatas) yang sama sekali tidak memperhatikan ketentuan udang-undang perbankan, khususnya pasal 49 ayat 2 UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang secara khusus mengatur delik yang dilakukan oleh Neloe
[3] UU No 7 Tahun 1992 yang kemudian diperbaharui dengan Undang-undang No 10 Tahun 1998
[4] Lahirnya Undang-undang Perbankan salah satunya disebapkan karena adanya putusan Mahkamah Agung Terhadap Kasus Bank Duta. Kasus yang menyita perhatian masyarakat tersebut menjadi ”kontroversi” karena Mahkamah Agung dianggap telah melakukan analogi dalam hal pengertian merugikan keuangan negara. Dimana MA berpendapat sebagai berikut :
”telah terbukti walaupun Bank Duta adalah Bank Swasta, tetapi karena telah menerima/menggunakan dana-dana yang bersal dari masyarakat yang diperuntukkan bagi kepentingan sosial dan kemanusiaan, maka undang-undang korupsi dapat diterapkan dalam perkara ini”.
Sehingga muncul pendapat dan desakan agar dilahirkan suatu Undang-undang Perbankan, dan pada tahun 1992 lahirlah undang-undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Komariah Emong, Op., Cit. Hal. 208 dan 209
[5] Ibid. hal 208
[6] Davit Downes, dalam Komariah Emong. Ibid.
[7] menurut saksi Nanik Purwati saksi ahli dari BI menerangkan walaupun modal yang dimiliki si pemohon jauh dibawah nilai kredit yang diajukan akan tetapi setelah melakukan analisa terhadap permohonan tersebut, bank .memperoleh keyakinan bahwa kredit tersebut dapat dilunasi, maka hal tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan perkreditan yang berlaku. Lebih lanjut menurut keterangan ahli dari BPKP yakni Muhammad Yusuf dalam persidangan juga telah menerangkan bahwa apabila dalam laporan keuangan Bank Mandiri yang disahkan dalam rapat umum pemegang saham ternyata tidak ada kerugian yang dialami Bank Mandiri maka berarti juga tidak kerugian yang dialami oleh Negara.
[8] Lili Rasjidi dalam Komarian Emong. Op. Cit. Hal 210.
[1] Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak
[2] Lihat penjelasan umum Undang-undang No 23 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan UU No 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia
[3] Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya
[4] Zulkarnain Sitompul. Problematika Perbankan, BooksTerrance&Library. Bandung. 2005. Hal 244

Hukum Waris Islam : Bagian Harta Waris Bagi Ahli Waris



Bagian Harta Waris Bagi Ahli Waris Yang Dianggap Hilang( Mafqud)



Sebagai bangsa Indonesia yang di dasarkan atas salah satu sumber hukum yaitu Hukum Islam meliputi Alquran, As-Sunnah, dan Ra’yu, yang dihadapkan pada permasalahan yang begitu kompleksnya tentang kewarisan Islam di Indonesia, sering kali menimbulkan kesulitan dalam memutuskan dan mempertimbangkan sesuatu yang masih belum mempunyai kekuatan hukum tetap, seperti halnya dalam kewarisan yang terjadi apabila seseorang dinggap hilang (Mafqud).
Permasalahan kewarisan ini yang membuat para ulama fikih dan hakim peradilan agama harus menggali kebenaran, keadilan serta bukti-bukti yang mendukung adanya peristiwa Mafqud. Oleh karena itu, dibutuhkan kejelasan utama atas status dari seseorang yang hilang sehingga adanya kejelasan dari tanda-tanda masih hidupnya bahtera rumah tangga mereka, karena salah satu hakikat asas hukum Islam adalah untuk selama-lamanya, dimana kedua belah pasangan menunjukan perkawinan dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina cinta serta kasih sayang selama hidup.
Kata Mafqud dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar Faqada yang berarti hilang Menurut para Faradhiyun Mafqud itu diartikan dengan orang yang sudah lama pergi meninggalkan tempat tinggalnya, tidak diketahui domisilinya, dan tidak diketahui tentang hidup dan matinya. Selain itu, ada yang mengartikan Mafqud sebagai orang yang tidak ada kabarnya, dan tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sudan meninggal.
Dalam pembahasan ulama fikih, penentuan status bagi Mafqud, apakah ia masih hidup atau telah wafat amatlah penting, karena menyangkut beberapa hak dan kewajiban dari si Mafqud tersebut serta hak dan kewajiban keluarganya sendiri.

A. Pandangan ulama fikih dan dasar hukum yang mengatur Mafqud

Dalam menetapkan status bagi mafqud (apakah ia masih hidup atau tidak), para ulama fikih cenderung memandangnya dari segi positif, yaitu dengan menganggap orang yang hilang itu masih hidup, sampai dapat dibuktikan dengan bukti-bukti bahwa ia telah wafat. Sikap yang diambil ulama fikih ini berdasarkan kaidah istishab yaitu menetapkan hukum yang berlaku sejak semula, sampai ada dalil yang menunjukan hukum lain.
Akan tetapi, anggapan masih hidup tersebut tidak bisa dipertahankan terus menerus, karena ini akan menimbulkan kerugian bagi orang lain. Oleh karena itu, harus digunakan suatu pertimbangan hukum untuk mencari kejelasan status hukum bagi si mafqud (para ulama fikih telah sepakat bahwa yang berhak untuk menetapkan status bagi orang hilang tersebut adalah hakim, baik untuk menetapkan bahwa orang hilang telah wafat atau belum.

B. Ada dua macam pertimbangan hukum yang dapat digunakan dalam mencari kejelasan status hukum bagi si mafqud, yaitu:

1. Berdasarkan bukti-bukti yang otentik, yang dibenarkan oleh syariat, yang dapat menetapkan suatu ketetapan hukum, sebagaimana dalam kaidah:
“Tsa bitu bil bayyinati katssabinati bil mu’aa yanah” artinya, “yang tetap berdasarkan bukti bagaikan yang tetap berdasarkan kenyataan”.
Misalnya, ada dua orang yang adil dan dapat dipercaya untuk memberikan kesaksian bahwa si fulan yang hilang telah meninggal dunia, maka hakim dapat menjadikan dasar persaksian tersebut untuk memutuskan status kematian bagi si mafqud. Jika demikian halnya, maka si mafqud sudah hilang status mafqudnya. Ia ditetapkan seperti orang yang mati haqiqy.
2. Berdasarkan tenggang waktu lamanya si mafqud pergi atau berdasarkan kadaluwarsa.
Para ulama berbeda pendapat perihal tenggang waktu untuk menghukumi/menetapkan kematian bagi si mafqud. Mereka terbagi kedalam beberapa mazhab:
1. Imam Malik dalam salah satu pendapatnya menetapkan waktu yang diperbolehkan bagi hakim memberi vonis kematian si mafqud ialah 4 (empat) tahun. Pendapat ini beliau istimbatkan dari perkataan Umar bin Khattab yang menyatakan:
“Setiap isteri yang ditinggalkan oleh suaminya, sedang dia tidak mengetahui dimana suaminya, maka ia menunggu empat tahun, kemudian dia ber’iddah selama empat bulan sepuluh hari, kemudian lepaslah dia….” (HR Bukhari).
2. Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Abu Yusuf dan Muhamad bin al-Hasan berpendapat bahwa si mafqud boleh diputuskan kematiannya oleh hakim bila sudah tidak ada kawan sebayanya yang masih hidup. Secara pasti hal tersebut tidak dapat ditentukan. Oleh sebab itu, beliau menyerahkan kepada Ijtihad hakim. Hakim dapat memberi vonis kematian si mafqud menurut ijtihad-nya demi suatu kemashalatan.
3. Abdul Malik Ibnul-Majisyun mefatwakan agar si mafqud tersebt mencapai umur 90 tahun beserta umur sewaktu kepergiannya. Sebab menurut kebiasaan, seseorang itu tidak akan mencapai umur 90 tahun. Beliau menyatakan alasan tersebut berdasarkan Hadits Rasul SAW yang berbunyi “Umur-umur umatku itu antara 60 sampai 70 tahun.”

4. Imam Ahmad berpendapat bahwa di dalam menetapkan status hukum bagi si mafqud, hakim harus melihat “situasi” hilangnya si mafqud tersebut. manurut beliau situasi hilangnya si mafqud itu dapat dibedakan atas:
i. Situasi kepergiannya atau hilangnya itu memungkinkan membawa malapetaka. misalnya dalam situasi naik kapal tenggelam yang kapalnya pecah dan sebagian penumpannya telah tenggelam atau dalam situasi peperangan, maka setelah diadakan penyelidikkan oleh hakim secermat-cermatnya, hakim dapat menetapkan kematiannya setelah lewat empat tahun lamanya.
ii. Situasi kepergiannya itu menurut kebiasaan tidak sampai membawa malapetaka. misalnya pergi untuk menurut ilmu, ibadah haji, dan sebaginya, tetapi kemudian ia tidak kembali dan tidak diketahui kabar beritanya lagi dan dimana domisilinya, maka dalam hal seperti itu diserahkan kepada hakim untuk menetapkan status bagi si mafqud menurut ijtihad-nya.
Walaupun demikian, praktek pelaksanaannya di pengadilan agama, bahwa mengenai ada atau tidaknya kewenangan untuk menetapkan/menghukumi status bagi mafqud tersebut (dengan menyatakan ia telah meninggal atau belum) masih bersifat masih dapat diperdebatkan (debatable).

C. Pembagian warisan seseorang yang dianggap hilang (Mafqud)

Permasalahan yang berkenaan dengan kewarisan, hingga saat ini belum ada ketentuan-ketentuan kapan seseorang yang hilang dapat ditentukan statusnya. Oleh karena itu, dalam menetapkan status bagi si mafqud diperlukan suatu pembuktian yang sangat cermat. Lalu yang menjadi permasalahan, kapan harta si mafqud dapat diwarisi oleh para ahli warisnya?
Menurut para ulama, setelah hakim memutuskan si mafqud telah meninggal dunia pada suatu tanggal yang ditentukan berdasarkan pada dalil-dalil yang menimbulkan dugaan kuat kematiannya, maka mafqud itu dipandang meninggal dunia, pada waktu keluarnya penetapan hakim.
CONTOH KASUS
Seseorang yang meninggal dunia meninggalkan seorang Isteri yaitu Asyimah binti Kalil (A), Ibu yaitu Juheriah binti Massere (B), seorang anak laki-laki yang mafqud yaitu Wawan bin Aman Irah (C), seorang anak perempuan yaitu Nani binti Aman Irah (D) dan serta seorang saudara kandung bernama yaitu Yusuf bin Ali Umar (E). Harta peninggalannya sejumlah Rp.120.000.000,- Bagaimanakah pembagian warisannya menurut ajaran patrilineal syafi’i?
Skema Kasus
c
D
Apabila mafqud belum dinyatakan mati
A = 1/8 df (Q.4:12e) x Rp.120.000.000 = Rp.15.000.000,-
B = 1/6 df (Q.4:11d) x Rp.120.000.000 = Rp.20.000.000,-
Sisa = Rp.120.000.000 – Rp.15.000.000 + Rp.20.000.000 = Rp.85.000.000,-
C dan D memperoleh sisa sebagai asabah
C : D = 2 : 1 (Q.4:11a)
C = 2/3 x sisa = 2/3 x Rp.85.000 = Rp.56.700.000,-
D = 1/3 x sisa = 2/3 x Rp.85.000 = Rp.28.300.000,-
E = Terhijab oleh C
A + B + C + D + E = Rp.15.000.000 + Rp.20.000.000 + Rp.56.700.000 + Rp.28.300.000 = Rp.12.000.000,- (harta habis dibagi).
Apabila mafqud telah dinyatakan mati
A = 1/8 df (Q.4:12e) x Rp.120.000.000 = Rp.15.000.000,-
B = 1/6 df (Q.4:11d) x Rp.120.000.000 = Rp.20.000.000,-
D = 1/2 df (Q.4:11c) x Rp.120.000.000 = Rp.60.000.000,-
E mendapat sisa sebagai asabah (Q.4:176c) yaitu Rp.120.000.000 – Rp.15.000.000 + Rp.20.000.000 + Rp.60.000.000 = Rp.25.000.000,-
A + B + D + E = Rp.15.000.000 + Rp.20.000.000 + Rp.60.000.000 = Rp.120.000.000,- (harta habis dibagi).
Dengan demikian, harta peninggalan mafqud diwariskan oleh ahli waris yang ada pada waktu itu. Para ahli waris yang telah meninggal dunia sebelum adanya penetapan hakim tidak mewarisinya, karena tidak terpenuhinya syarat kewarisan, yaitu meninggalnya si pewaris baik secara hakikatnya (mati haqiqy) maupun secara hukum (mati hukmy). Oleh karena itu, harta warisan yang sudah dibagi dan ketika si mafqud hadir kembali sudah melampaui 4 (empat) tahun, maka ia tidak bisa meminta kembali harta warisan yang sudah dibagikan. Apabila si mafqud hadir sebelum 4 (empat) tahun, maka ia dapat memintakan kembali harta yang belum dipakai oleh ahli warisnya yang merupakan harta warisan.
Berdasarkan uraian diatas dapat penulis mengambil benang merah, antara lain:
1. Status hukum bagi si mafqud (meninggal atau tidak) sangat berpengaruh pada kehidupan bahtera keluarga, terlebih apabila menyangkut dengan keluarga besar yang terdiri dari orangtua, saudara-saudara.
2. Status hukum si mafqud dapat ditetapkan dan dimintakan kepada hakim pengadilan negeri, atas suatu persitiwa yang menimpa pihak-pihak yang berkepentingan, sehingga akan semakin jelas dari pihak-pihak yang ditinggalkan.
3. Dalam menetapkan status si mafqud, seorang hakim harus berasaskan bebas tapi terikat, yang artinya bebas memakai penafsiran dan berijtihad dengan dalil-dalil dengan sungguh-sungguh, tetapi terikat dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan peraturan perundang-undangan di Indonesia, sehingga dalam pembagian warisan kepada masing-masing pihak yang berkepentingan tidak menimbulkan konflik dan adanya pembagian yang seadil-adilnya.
Dari kesimpulan yang dijabarkan diatas dapat memberi rekomendasi antara lain:
1. Dalam memutuskan perkara, maka hakim peradilan agama benar-benar harus menggali dan berijtihad dengan sungguh-sungguh agar dalam memutuskan perkara tidak ada kesalahan dan tidak ada rasa ragu-ragu.
2. Selain itu, ada kekurangan dalam produk legislasi Indonesia, dimana tidak mengatur dengan jelas dan tegas dalam undang-undang bagaimana penyelesaian serta akibat-akibat yang harus ditanggung ketika ada seseorang yang hilang, seperti halnya dalam bidang kewarisan.