Ketentuan normatif mengenai sengketa Tata Usaha
Negara di atur dalam Pasal 1 butir 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Pasal tersebut
memberikan batasan pengertian sengketa Tata Usaha Negara, yaitu sengketa yang
timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata
dengan Badan atau Pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarnya Keputusan TUN, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dari batasan pengertian pasal tersebut, maka
dalam sengketa tata usaha negara subyek hukumnya terdiri dari :
1. Penggugat : yaitu orang atau badan hukum perdata.
2. Tergugat : yaitu Badan atau Pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah.
- Penggugat
Penggugat adalah orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan TUN (Pasal 53 ayat 1 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004).
Badan hukum perdata di sini adalah murni Badan
yang menurut pengertian hukum perdata berstatus sebagai badan hukum. Jadi bukan
lembaga hukum publik yang berstatus sebagai badan hukum, seperti Propinsi,
Kabupaten, Departemen, dan sebagainya.
Jadi, orang atau badan hukum perdata tersebut
secara hukum sebagai pendukung (pemangku) hak-hak dan kewajiban, sehingga atas
dasar itu mempunyai legal standi untuk mempertahankan kepentingan yang
dirugikan oleh suatu Keputusan TUN dengan cara mengajukan gugatan ke Pengadilan
Tata Usaha Negara.
Apabila Penggugat meninggal dunia, maka ahli
warisnya dapat melanjutkan gugatannya sepanjang dapat membuktikan adanya
kepentingan untuk itu.
Di dalam perkembangan dimungkinkan Pejabat TUN
dapat menjadi Penggugat bertindak mewakili instansi Pejabat TUN tersebut dalam
mempermasalahkan prosedur penerbitan Keputusan TUN yang ditujukan kepada
instansi Pemerintah yang bersangkutan.
Misalnya, mengajukan gugatan terhadap Keputusan
TUN tentang Pencabutan Surat Ijin Penghunian (SIP) yang ditempati instansi
Pemerintah, mengajukan gugatan terhadap Keputusan TUN yang berisi perintah
bongkar bangunan milik instansi Pemerintah, mengajukan gugatan terhadap
pembatalan sertipikat tanah milik instansi Pemerintah, dan sebagainya (lihat
Buku II, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara,
halaman 44).
- Tergugat
Tergugat adalah Badan atau Pejabat TUN yang
mengeluarkan Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang
dilimpahkan kepadanya, yang diguguat oleh orang atau badan hukum perdata (vide
Pasal 1 butir 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986).
Badan atau Pejabat TUN adalah Badan atau Pejabat
yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku (vide Pasal 1 butir 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 ).
Yang dimaksud dengan “urusan pemerintahan“ adalah kegiatan yang bersifat eksekusif. Dengan demikian kegiatan-kegiatan lain di luar kegiatan yang bersifat eksekusif tersebut terutama yang masuk dalam pengertian kegiatan legeslatif dan yudikatif, tidak masuk di dalam pengertian “urusan pemerintah“.
Yang dimaksud dengan “urusan pemerintahan“ adalah kegiatan yang bersifat eksekusif. Dengan demikian kegiatan-kegiatan lain di luar kegiatan yang bersifat eksekusif tersebut terutama yang masuk dalam pengertian kegiatan legeslatif dan yudikatif, tidak masuk di dalam pengertian “urusan pemerintah“.
Urusan pemerintahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan, yaitu semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum
yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah baik di
tingkat pusat maupun di tingkat daerah yang juga bersifat mengikat secara umum.
Apa yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat TUN
dalam praktek Peradilan Tata Usaha Negara selama ini menganut kriteria fungsional.
Jadi ukurannya adalah, – sepanjang Badan atau Pejabat TUN tersebut –
“berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan yang dikerjakan
berupa kegiatan urusan pemerintahan”. Sehingga tolok ukurnya adalah asalkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (dhi. berdasarkan
ketentuan hukum baik yang tertulis atau yang tak tertulis untuk memenuhi asas
legalitas tindakan pemerintah) dan yang dikerjakan berupa kegiatan urusan
pemerintahan.
Konsekuensi dari kriteria fungsional adalah, pengertian
Badan atau Pejabat TUN menjadi tidak terbatas pada Badan-Badan atau
Pejabat-Pejabat di lingkungan eksekutif yang dapat digugat di Peradilan Tata
Usaha Negara, akan tetapi siapa saja asalkan kepadanya diletakkan kewenangan
untuk menjalankan fungsi pemerintahan atau melakukan kegiatan urusan
pemerintahan, maka terhadap Keputusan TUN yang dikelurakannya pada prinsipnya
dapat saja di jadikan obyek sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara, asalkan
ada dasar wewenangnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Beberapa Catatan Dapat Diungkapkan Dari Praktek
Peradilan Tata Usaha Negara Menyangkut Subyek Dan Obyek Hukum
Dalam Yurisprudensi.
1. Pengertian Badan atau Pejabat TUN Cenderung
Memakai Kriteria Fungsional.
Beberapa contoh dapat dikemukakan, yaitu
Keputusan pemecatan Dosen oleh Rektor Universitas swasta (kasus Arif Budiman),
Keputusan-Keputusan yang diterbitkan oleh BUMN,BUMD,BPPN, dan sebagainya.
Namun dalam perkembangan yurisprudensi, kriteria fungsional tentang Badan atau Pejabat TUN mulai selektif diterapkan dengan melihat instrumen hukum yang melandasi hubungan hukum antara Badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan dengan orang atau badan hukum perdata yang dikenai Keputusan tersebut.
Namun dalam perkembangan yurisprudensi, kriteria fungsional tentang Badan atau Pejabat TUN mulai selektif diterapkan dengan melihat instrumen hukum yang melandasi hubungan hukum antara Badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan dengan orang atau badan hukum perdata yang dikenai Keputusan tersebut.
Mahkamah Agung dalam putusan-putusannya mulai mengoreksi
putusan sebelumnya, misalnya tentang hubungan hukum antara Rektor atau Dekan
perguruan tinggi swasta dengan Dosen di lingkungan universitas swasta tersebut
dengan melihat pada kriteria instrumen hukum yang melandasi hubungan hukumnya
(dhi. hubungan hukum perikatan/keperdataan ataukah memang melekat padanya
hubungan hukum publik/pemerintahan).
Di samping itu, sebenarnya sesuai asas legalitas
kewenanangan dalam kaitannya dengan Tergugat di dalam sengketa Tata Usaha
Negara, adalah apakah ada dasar hukum kewenangan yang dimilikinya yang
diberikan oleh undang-undang terhadap badan-badan swasta (baik secara expersis
verbis maupun atas dasar pelimpahan-delegasai wewenang), untuk menjalankan
fungsi pemerintahan.
Mahkamah Agung beranggapan bahwa sengketa Tata
Usaha Negara yang diajukan yang menyangkut sanksi-sanksi pemutusan atau
pemberhentian dosen pada universitas swasta, dengan melihat hubungan hukum yang
melandasinya. Sepanjang bersifat keperdataan, Pengadilan Tata Usaha Negara
tidak berkompeten untuk mengadilinya. Dalam hal ini juga termasuk Badan-Badan
Usaha Milik Negara/Daerah yang menerbitkan sanksi-sanksi adminitrasi terhadap
Pejabat atau Karyawan di lingkungannya.
2. Notaris / PPAT
Notaris/PPAT, pada awalnya digolongkan sebagai
Badan atau pejabat TUN yang menjalankan urusan pemerintah. Pada awal Peradilan
Tata Usaha Negara ini berjalan, para Hakim TUN melalui putusan-putusannya
berpendapat bahwa produk Keputusan Notaris/PPAT dapat diuji keabsahannya oleh
Hakim Tata Usaha Negara, namun dalam pekembangannya pendapat ini mengalami
elaborisasi dalam putusan Hakim yang menyatakan meskipun Notaris/PPAT adalah
Pejabat TUN tetapi produk keputusannya (dhi. akta jual beli tanah) tidak
termasuk Keputusan TUN, karena akta Notaris/PPAT secara yuridis formal, materi
muatannya hanyalah sekedar menuangkan perbuatan hukum perdata (jual beli atas
tanah dalam akta PPAT), sehingga tidak dapat disebut sebagai suatu Keputusan
TUN. Akan tetapi apabila Notaris/PPAT menolak untuk menerbitkan akta jual beli
tanah, oleh beberapa Hakim Tata Usaha Negara penolakan Notaris/PPAT dapat
digolongkan sebagai Keputusan TUN yang fiktif-negatif.
Dalam perkembangannya pendapat tersebut berubah
oleh pendapat Mahkamah Agung, bahwa Notaris/PPAT tidak dapat digolongkan sebagi
Badan atau Pejabat TUN, karena dalam suatu wilayah adminitrasi Notaris/PPAT
terdapat beberapa atau banyak Notaris/PPAT yang diberikan kewenangan sebagai
Pejabat umum di bidang pembuatan akta-akta otentik jual beli tanah di wilayah
adminitrasi yang bersangkutan. Konsekuensi hukumnya bagi orang atau badan hukum
perdata ada pilihan terhadap Notaris/PPAT mana dia akan meminta dibuatkan akta
jual beli tanah. Sehingga penolakan Notaris/PPAT untuk tidak mau membuat akta
Notaris/PPAT tidak berakibat merugikan kepentingan pihak-pihak yang
membutuhkan.
Dengan demikian Notaris/PPAT tidak memenuhi
kriteria Badan atau Pejabat TUN, karena setiap wewenang Badan atau Pejabat TUN
selalu dibatasi oleh locus, tempus, dan materi. Padahal dalam wilayah
adminitrasi Notaris/PPAT, terdapat lebih dari seorang Notaris/PPAT yang diberi
kewenangan untuk menjalankan profesinya.
Namun, dalam kerangka ius constituendum (dhi. RUU
Adminitrasi Pemerintahan) Notaris/PPAT digolongkan sebagai Pejabat adminitrasi
pemerintahan.
3. Pergeseran Pendapat Hukum Dengan Melihat Obyek
Gugatan Dan Permasalahan Hukum Yang Dimintakan Diputus Oleh Hakim.
Pada mulanya Hakim Tata Usaha Negara beranggapan
semua produk Keputusan TUN sepanjang diterbitkan oleh Badan atau Pejabat TUN
dapat periksa oleh Hakim Tata Usaha Negara. Misalnya dalam kasus-kasus yang
menyangkut BPPN pada awalnya Hakim TUN tidak mempersoalkan materi persoalan
yang dimintakan diputus oleh Hakim TUN dan hanya melihat bahwa BPPN sebagai
Badan Tata Usaha Negara sehingga produk Keputusan TUN yang diajukan gugatan ke Pengadilan
Tata Usaha Negara dapat diperiksa materi muatannya oleh Hakim Tata Usaha
Negara.
Dalam perkembangannya, Mahkamah Agung
berpendapatan dengan melihat pada materi persoalan yang diminta diselesaikan
atau diputus oleh badan peradilan. Jika persoalan yang diajukan oleh Penggugat
adalah menyangkut persoalan-persoalan tentang aspek-aspek keperdataan, seperti
peralihan piutang-piutang (cessie) atau keberatan/ketidakcocokan jumlah hutang
yang ditagihkan atau harus dibayar dan sebagainya, maka Keputusan TUN yang
demikian tidaklah termasuk Keputusan TUN dan lebih bersifat Keputusan TUN yang
merupakan perbuatan hukum perdata (Pasal 2 huruf a Undang-Undang Nomor 9 tahun
2004).
Lebih lanjut tentang hal ini lihat Putusan Mahkamah Agung No.447K/TUN/2000.
Lebih lanjut tentang hal ini lihat Putusan Mahkamah Agung No.447K/TUN/2000.
Masih dalam kaitannya dengan obyek gugutan dan
permasalahan hukum yang diminta diputus oleh Hakim, dalam kasus-kasus yang
menyangkut Keputusan TUN yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Lelang Negara,
Mahkamah Agung berpendapatan “risalah lelang bukan Keputusan TUN yang dapat
dijadikan obyek sengketa Tata Usaha Negara”, karena risalah lelang hanya
merupakan catatan tentang jalannya pelelangan dan tentang pelelangan adalah
perbuatan hukum keperdataan, maka jika terhadap hal itu ada pihak-pihak yang
dirugikan dapat mengajukan gugatan perdata pada Peradilan Umum dengan
mendasarkan pada pasal 1365 KUH Perdata sebagai perbuatan melawan hukum oleh
Penguasa (OOD) kepada kantor lelang yang bersangkutan.
Lebih lanjut tentang hal ini lihat Putusan
Mahkamah Agung No.151K/TUN/1999.
4. Pergeseran Pendapat Oleh Pengaruh Doktrin
Hukum Dan Perubahan Norma Hukum Positif Dalam Undang-Undang.
a. Pada awalnya Keputusan-Keputusan TUN yang
menyangkut prosedur pemilihan baik di pusat maupun di daerah sepanjang tidak
mengenai Keputusan Panitia Pemilihan sebagaimana dimaksud oleh pasal 2 huruf g
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986, Hakim TUN berpendapat Keputusan TUN tersebut
menjadi kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara.
Dalam perkembangannya Mahkamah Agung berpendapat,
sesuai doktrin hukum adminitrasi, keputusan-keputusan di bidang politik tidak
termasuk Keputusan TUN, sehingga dengan melihat pada tindakan-tindakan yang
mendasari diterbitkannya Keputusan TUN dalam rangka pemilihan, baik dari segi
prosedur maupun materinya tidak dapat digolongkan sebagai tindakan di bidang
fungsi penyelenggaraan urusan pemerintahan, maka produk Keputusan TUN nya tidak
dapat dinilai oleh Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (lihak SEMA No.8 Tahun
2005 Jo. Putusan Mahkamah Agung No.482K/TUN/2003).
b. Di samping itu ada perubahan norma hukum
positif dalam undang-undang, yaitu ketentuan Pasal 2 huruf g Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 diubah oleh ketentuan Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004, yang menyatakan Keputusan KPU baik di pusat maupun di daerah
mengenai hasil Pemilihan Umum tidak termasuk dalam pengertian Keputusan TUN.
Dengan demikian, menyangkut kasus-kasus dibidang
politik seperti Keputusan TUN obyek sengketa tentang pengesahan kepengurusan
Partai Politik, pemecatan anggota atau pengurus Partai Politik tertentu oleh
DPP/DPD Partai Politik yang bersangkutan, bukanlah termasuk Keputusan Badan
atau Pejabat TUN menurut ketentuan pasal 1 butir (3) Undang-Undang PERATUN,
karena kegiatan partai politik tidak dapat digolongkan sebagai kegiatan fungsi
urusan pemerintah.
Untuk hal ini lebih lanjut lihat Putusan Mahkamah
Agung No.190K/TUN 1997 Jo. No. 77/BGD-G.PD/PT. TUN-MDN/1996 Jo. No. 06/G/1996/
PTUN-PDG.
5. Teori Melebur. Pada awalnya Hakim TUN tidak melihat
pada jangkauan yang dituju oleh Keputusan TUN yang menjadi obyek gugatan,
padahal di dalam praktek dijumpai Keputusan TUN yang materi muatannya bertujuan
untuk mengakhiri atau melahirkan hak-hak keperdataan terhadap seseorang atau
badan hukum perdata. Dalam hal ini
Mahkamah Agung berpendapat dengan memakai teori melebur bahwa terhadap
Keputusan TUN yang bersifat demikian itu dianggap melebur ke dalam perbuatan
hukum perdatanya.
Berbeda dalam hal sengketa TUN yang berkaitan
dengan Operasi Pemulihan Aliran Listrik (OPAL). Dalam hal ini hubungan hukum
antara PLN dengan pelanggan adalah bersifat keperdataan, tetapi oleh karena PLN
diberi wewenang berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk memutus secara
sepihak aliran listrik pada waktu melakukan OPAL, maka tindakan pemutusan
aliran listrik secara yang dilakukan PLN atas dasar OPAL tersebut dapat mejadi
obyek sengketa TUN, karena dasar yang dipakai melakukan tindakan dalam OPAL
adalah hukum publik.
Untuk hal ini lihat Putusan Mahkamah Agung No.300 K/TUN/ 1998.
6. Pendapat Yang Berkembang Tentang Kemungkinan Penggugat Dalam Senketa TUN Adalah Badan Hukum Publik.
Sementara itu terdapat pendapat yang berkembang
di kalangan Hakim TUN tentang dimungkinkannya Badan atau Pejabat TUN dalam
rangka mempertahankan hak-hak keperdataan yang menyangkut aset-aset yang
dimiliki oleh badan hukum publiknya dapat bertindak secara hukum untuk mewakili
badan hukum publiknya mengajukan gugatan terhadap Keputusan TUN yang merugikan
asset-aset badan hukum publik yang bersangkutan.
Tentang perkembangan pendapatan ini, secara kasus
per kasus pada Hakim yang mengadili sengketanya, hal ini disebabkan sudah masuk
dalam ranah kemandirian Hakim di dalam memutus sengketanya. Namun hendaknya
disertai argumentasi logis dengan berpijak pada ketentuan normatif yang diatur
dalam undang-undang sebelum melangkah masuk ke dalam proses mengadili pokok
sengketanya.