Tinjauan
Yuridis Penerapan Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali Menurut Doktrin
Kekhususan Yang Sistematis
Pembangunan
nasional Indonesia untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 telah mencapai berbagai
kemajuan termasuk di bidang ekonomi dan moneter, sebagaimana tercermin pada
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan tingkat inflasi yang terkendali.
Sementara itu, dalam pembangunan tersebut terdapat kelemahan struktur dan
sistem perekonomian Indonesia yang menimbulkan penyimpangan-penyimpangan antara
lain ketidakhati-hatian dan kecurangan dunia perbankan dalam pengelolaan suatu
bank. Hal tersebut semakin diperparah dengan kurang memadainya perangkat hukum,
lemahnya penegakan hukum sehingga mengakibatkan banyaknya distorsi, pada
akhirnya terjadi penyimpangan dari praktik ekonomi pasar yang mengakibatkan
semakin lemahnya fondasi perekonomian nasional.
Salah
satu bentuk penyimpangan dalam praktik perbankan yang cukup fenomenal yang
pernah terjadi di Indonesia adalah kasus Bank Global Tbk. Dalam kasus ini,
pengurus dan sekaligus pemilik bank tersebut melakukan praktik tidak patut yang
dilakukan oleh seorang bankir dan merupakan tindakan kriminal dari kacamata
hukum. Serangkaian praktik memelukan dan berbau kriminal telah terjadi pada
bank tersebut. Mulai dari tidak bersedia memberikan dokumen dan tidak mau
memberikan keterangan kepada Bank Indonesia (BI) sebagai pengawas perbankan,
berupaya memusnahkan dokumen sampai menerbitkan surat berharga fiktif.
Dalam
literatur ilmu hukum pidana, ada berbagai istilah bagi kejahatan atau tindak
pidana yang terjadi di bidang perbankan. Di antaranya tindak pidana perbankan,
tindak pidana di bidang perbankan, kejahatan di bidang perbankan, dan
lain-lain. Hal ini disebabkan karena hingga saat ini belum ada satu
Undang-Undang pun yang merumuskan secara yuridis apa yang dimaksud dengan
tindak pidana di bidang perbankan.
Terhadap
persoalan ini, menjadi relevan dimunculkan pertanyaan kapan suatu pelanggaran
Undang-Undang Perbankan dapat dijerat dengan ketentuan UU Perbankan? Kemudian ,
dalam hal-hal apa tindak pidana dibidang perbankan dapat dijerat dengan
ketentuan tindak pidana korupsi?
Aturan
hukum yang memuat asas lex specialis derogate legi generali dilihat menurut
teori sistem hukum dari Hart, termasuk kategori rule of recognition. Mengingat
asas ini mengatur aturan hukum mana yang diakui abash sebagai suatu aturan yang
berlaku. Dengan demikian, asas ini merupakan salah satu secondary rules, yang
sifatnya bukan mengatur perilaku sebagaimana primary rules, tetapi mengatur
(pembatasan) penggunaan kewenangan (aparat) negara dalam mengadakan suaru
represi terhadap pelanggaran atas aturan tentang perilaku tersebut.
Sebagai
asas yang mengatur penggunaan kewenangan, dilihat dari teori tentang criminal
law policy dari Ancel, asas lex specialis derogat legi generali merupakan asas
hukum yang menentukan dalam tahap aplikasi (application policy). Artinya,
persoalannya bukan berkenaan dengan perumusan suatu kebijakan tentang hukum
(formulation policy), tetapi berkenaan dengan game-rules dalam penerapan hukum.
Dalam hal ini, asas ini menjadi penting bagi aparat penegak hukum apakah suatu
peristiwa akan diterapkan aturan yang “ini” atau yang “itu”. Sementara, yang
“ini” atau “itu” tersebut ditentukan oleh manakah aturan diantara aturan-aturan
tersebut yang bersifat umum, sedangkan manakah aturan-aturan yang lain yang
bersifat khusus.
Berdasarkan
uraian diatas, dikaitkan dengan putusan Pengadilan Negeri NO. 2068/PIDANA
BIASA/2005/PN JAKARTA SELATAN, yang membebaskan Neloe, CS karena tidak terbukti
melakukan perbuatan korupsi dan Putusan Mahkamah Agung Indonesia No. 1144
K/Pid/2006 yang kemudian menghukum Neloe CS dengan hokuman 10 Tahun Penjara,
karena terbukti perbuatan terpidana telah melanggar Undang-undang Korupsi.
Penulis berkesimpulan bahwa Mahkamah Agung telah mengabaikan dan melanggar
doktrin specialite sistematische.
Dengan
keputusan ini Mahkamah Agung telah menyatakan diri secara tegas bahwa
undang-undang Perbankan sebagai undang yang bersifat umum, sedangkan
undang-undang korupsi merupakan ketentuan yang lebih khusus. Meminjam istilah
Andi Hamzah, dengan demikian undang-undang korupsi bisa mengonsumir, mendesak
dan menghabiskan ketentuan undang-undang perbankan (lex consumens derogat legi
consumtae).
Disinilah
hal yang menjadi keberatan penulis terhadap putusan Mahkamah Agung, karena
Mahkamah Agung telah menghilangkan ketentuan hukum perbankan secara
semena-mena, tanpa mempertimbangkan dampak ketidak pastian hukum yang ditimbulkan
dalam putusan tersebut.
Padahal,
apabila kita merujuk sejarah lahirnya undang-undang perbankan, jelas terlihat
bahwa lahirnya Undang-undang Perbankan ditujukan untuk menggantikan Penuntutan
Kejahatan Perbankan dengan sarana hukum tindak pidana korupsi.
Dengan
bahasa lain dapat dikatakan bahwa lahirnya undang-undang perbankan ditujukan
agar kedepan kasus-kasus tindak pidana perbankan yang terjadi dapat dijerat
dengan undang-undang perbankan. Hal ini dikarenakan adannya “kesadaran bersama”
bahwa susbtansi Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No 3 Tahun
1971, lebih merupakan kehendak politik (political will) pemerintah untuk
memberantas korupsi dari pada hasil kerja suatu perundang-undangan. Terlebih,
dalam perdebatan-perdebatan mengenai rancangan undang-undang tersebut tidak
pernah terdapat pembicaraan bagaimana sebaiknya suatu tindak pidana dirumuskan.
Konsekwensi yuridis selalu dilupakan.
Tetapi
seperti dikatakan oleh Hart dan Peters, yang dikutip oleh Davit Downes,
The
paradigm now constituted a problem rather than a solution : not waiving but
drowning. The public prosecutorial ‘executive’ had re-organized and re-orianted
the criminal justice process from a case to a policy basis. The executive has
become the prime mover in the criminal justice sphere.
Akibatnya
dalam penerapan dan penegakan hukumnya selalu menimbulkan kejanggalan-kejanggalan,
atau bahkan menyiratkan ketidak-adilan. Jika demikian maka putusan yang
dihasilkan malah mengaburkan substansi norma-norma yang seharusnya dilindungi
dari undang-undang tersebut.
Dari
perkara ini, kejanggalan yang terlihat adalah hakim dalam memutus perkara lebih
menitik beratkan pertimbangan unsur merugikan keuangan negara ketimbang
pelanggaran pasal 49 ayat 2 undang-undang perbankan. Padahal unsur kerugian
keuangan negara yang dimaksud juga masih bisa diperdebatkan.
Dari
hal tersebut diatas, dalam kasus Neloe, penulis ingin mengatakan bahwa
penerapan hukum tindak pidana perbankan sebagai tindak pidana korupsi dalam
penegakan hukum pidana di Indonesia telah melanggar ketentuan sistematische
specialite sebagai secondary rules yang harusnya dipatuhi.
Akibat
putusan ini, Mahkamah Agung telah berkontribusi mendeligitimasi undang-undang
perbankan, karena putusan ini berimplikasi terhadap habisnya
kepentingan-kepentingan hukum yang ingin dilindungi oleh undang-undang
perbankan .
Padahal,
menurut Lili Rasjidi, mengutip pendapat Roscoe Pound mengklasifikasikan
kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum dalam 3 katagori pokok :
Public Interest (kepentingan umum), social interst (kepentingan masyarakat),
private interst (kepentingan pribadi).
Dari
hal-hal yang telah dijelaskan terdahulu, penulis ingin membuktikan beberapa
hal, yaitu :
Pertama
; penerapan dan penegakan hukum tindak pidana perbankan dalam kasus Neloe
bersifat sangat luas dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Karena disamping
perbuatan yang dilakukan tersangka secara normatif tidak berkualifikasi tindak
pidana korupsi, jika ditinjau dari pasal 14 UU No 31 Tahun 1999 Jo UU 20 tahun
2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi. Juga hal yang seharusnya dipertanggungjawab
kan kepada pelaku tidak dibuktikan di persidangan. (pasal 49 ayat 2 UU No 10
Tahun 1998 tentang Perbankan).
Kedua,
pertimbangan-pertimbanagn hukum putusan pengadilan sama sekali mengabaikan
asas-asas hukum pidana, sehingga terkesan hakim bebas menerapkan semua
ketentuan perundang-undangan selama hal tersebut didalilkan dalam tuntutan
jaksa penuntut umum.
Ketiga,
menimbulkan persepsi bahwa undang-undang perbankan bisa serta merta
dikesampingkan oleh undang-undang korupsi, dengan kata lain undang-undang ini
tidak berkaitan satu sama lain dalam satu sistem hukum.
Keempat,
menumbuhkan sikap tidak menghormati undang-undang.
[1]
Chairul Huda, Op., cit
[2]
Dalam putusan baik di Pengdilan Negeri Jakarta Selatan Mupun di MA, pada
akhirnya Mahkamah Agung telah membuat suatu ukuran penerapan hukum
pertanggungjawaban pidana, yang tidak berdasarkan suatu ketentuan sytimathice
specialite. Hal ini dapat dilihat dari pertimbangan hukum pengadilan Negeri dan
MA (seperti disebutkan diatas) yang sama sekali tidak memperhatikan ketentuan
udang-undang perbankan, khususnya pasal 49 ayat 2 UU No 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan yang secara khusus mengatur delik yang dilakukan oleh Neloe
[3]
UU No 7 Tahun 1992 yang kemudian diperbaharui dengan Undang-undang No 10 Tahun
1998
[4]
Lahirnya Undang-undang Perbankan salah satunya disebapkan karena adanya putusan
Mahkamah Agung Terhadap Kasus Bank Duta. Kasus yang menyita perhatian
masyarakat tersebut menjadi ”kontroversi” karena Mahkamah Agung dianggap telah
melakukan analogi dalam hal pengertian merugikan keuangan negara. Dimana MA
berpendapat sebagai berikut :
”telah
terbukti walaupun Bank Duta adalah Bank Swasta, tetapi karena telah
menerima/menggunakan dana-dana yang bersal dari masyarakat yang diperuntukkan
bagi kepentingan sosial dan kemanusiaan, maka undang-undang korupsi dapat
diterapkan dalam perkara ini”.
Sehingga
muncul pendapat dan desakan agar dilahirkan suatu Undang-undang Perbankan, dan
pada tahun 1992 lahirlah undang-undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Komariah Emong, Op., Cit. Hal. 208 dan 209
[5]
Ibid. hal 208
[6]
Davit Downes, dalam Komariah Emong. Ibid.
[7]
menurut saksi Nanik Purwati saksi ahli dari BI menerangkan walaupun modal yang
dimiliki si pemohon jauh dibawah nilai kredit yang diajukan akan tetapi setelah
melakukan analisa terhadap permohonan tersebut, bank .memperoleh keyakinan
bahwa kredit tersebut dapat dilunasi, maka hal tersebut tidak bertentangan
dengan ketentuan perkreditan yang berlaku. Lebih lanjut menurut keterangan ahli
dari BPKP yakni Muhammad Yusuf dalam persidangan juga telah menerangkan bahwa
apabila dalam laporan keuangan Bank Mandiri yang disahkan dalam rapat umum
pemegang saham ternyata tidak ada kerugian yang dialami Bank Mandiri maka
berarti juga tidak kerugian yang dialami oleh Negara.
[8]
Lili Rasjidi dalam Komarian Emong. Op. Cit. Hal 210.
[1]
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau
bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak
[2]
Lihat penjelasan umum Undang-undang No 23 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah
dengan UU No 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia
[3]
Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup
kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan
usahanya
[4]
Zulkarnain Sitompul. Problematika Perbankan, BooksTerrance&Library.
Bandung. 2005. Hal 244
Tidak ada komentar :
Posting Komentar