Bagian Harta Waris
Bagi Ahli Waris Yang Dianggap Hilang( Mafqud)
Sebagai bangsa
Indonesia yang di dasarkan atas salah satu sumber hukum yaitu Hukum Islam meliputi
Alquran, As-Sunnah, dan Ra’yu, yang dihadapkan pada permasalahan yang begitu
kompleksnya tentang kewarisan Islam di Indonesia, sering kali menimbulkan
kesulitan dalam memutuskan dan mempertimbangkan sesuatu yang masih belum
mempunyai kekuatan hukum tetap, seperti halnya dalam kewarisan yang terjadi
apabila seseorang dinggap hilang (Mafqud).
Permasalahan
kewarisan ini yang membuat para ulama fikih dan hakim peradilan agama harus
menggali kebenaran, keadilan serta bukti-bukti yang mendukung adanya peristiwa
Mafqud. Oleh karena itu, dibutuhkan kejelasan utama atas status dari seseorang
yang hilang sehingga adanya kejelasan dari tanda-tanda masih hidupnya bahtera
rumah tangga mereka, karena salah satu hakikat asas hukum Islam adalah untuk
selama-lamanya, dimana kedua belah pasangan menunjukan perkawinan dilaksanakan
untuk melangsungkan keturunan dan membina cinta serta kasih sayang selama
hidup.
Kata Mafqud dalam
bahasa Arab berasal dari kata dasar Faqada yang berarti hilang Menurut para
Faradhiyun Mafqud itu diartikan dengan orang yang sudah lama pergi meninggalkan
tempat tinggalnya, tidak diketahui domisilinya, dan tidak diketahui tentang
hidup dan matinya. Selain itu, ada yang mengartikan Mafqud sebagai orang yang
tidak ada kabarnya, dan tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sudan
meninggal.
Dalam pembahasan
ulama fikih, penentuan status bagi Mafqud, apakah ia masih hidup atau telah
wafat amatlah penting, karena menyangkut beberapa hak dan kewajiban dari si
Mafqud tersebut serta hak dan kewajiban keluarganya sendiri.
A. Pandangan ulama fikih dan dasar hukum yang mengatur
Mafqud
Dalam menetapkan
status bagi mafqud (apakah ia masih hidup atau tidak), para ulama fikih
cenderung memandangnya dari segi positif, yaitu dengan menganggap orang yang
hilang itu masih hidup, sampai dapat dibuktikan dengan bukti-bukti bahwa ia
telah wafat. Sikap yang diambil ulama fikih ini berdasarkan kaidah istishab yaitu
menetapkan hukum yang berlaku sejak semula, sampai ada dalil yang menunjukan
hukum lain.
Akan tetapi,
anggapan masih hidup tersebut tidak bisa dipertahankan terus menerus, karena
ini akan menimbulkan kerugian bagi orang lain. Oleh karena itu, harus digunakan
suatu pertimbangan hukum untuk mencari kejelasan status hukum bagi si mafqud
(para ulama fikih telah sepakat bahwa yang berhak untuk menetapkan status bagi
orang hilang tersebut adalah hakim, baik untuk menetapkan bahwa orang hilang
telah wafat atau belum.
B. Ada dua macam pertimbangan hukum yang dapat
digunakan dalam mencari kejelasan status hukum bagi si mafqud, yaitu:
1. Berdasarkan
bukti-bukti yang otentik, yang dibenarkan oleh syariat, yang dapat menetapkan
suatu ketetapan hukum, sebagaimana dalam kaidah:
“Tsa bitu bil
bayyinati katssabinati bil mu’aa yanah” artinya, “yang tetap berdasarkan bukti
bagaikan yang tetap berdasarkan kenyataan”.
Misalnya, ada dua
orang yang adil dan dapat dipercaya untuk memberikan kesaksian bahwa si fulan
yang hilang telah meninggal dunia, maka hakim dapat menjadikan dasar persaksian
tersebut untuk memutuskan status kematian bagi si mafqud. Jika demikian halnya,
maka si mafqud sudah hilang status mafqudnya. Ia ditetapkan seperti orang yang
mati haqiqy.
2. Berdasarkan
tenggang waktu lamanya si mafqud pergi atau berdasarkan kadaluwarsa.
Para ulama berbeda
pendapat perihal tenggang waktu untuk menghukumi/menetapkan kematian bagi si
mafqud. Mereka terbagi kedalam beberapa mazhab:
1. Imam Malik
dalam salah satu pendapatnya menetapkan waktu yang diperbolehkan bagi hakim
memberi vonis kematian si mafqud ialah 4 (empat) tahun. Pendapat ini beliau
istimbatkan dari perkataan Umar bin Khattab yang menyatakan:
“Setiap isteri
yang ditinggalkan oleh suaminya, sedang dia tidak mengetahui dimana suaminya,
maka ia menunggu empat tahun, kemudian dia ber’iddah selama empat bulan sepuluh
hari, kemudian lepaslah dia….” (HR Bukhari).
2. Imam Syafi’i,
Imam Hanafi, Abu Yusuf dan Muhamad bin al-Hasan berpendapat bahwa si mafqud
boleh diputuskan kematiannya oleh hakim bila sudah tidak ada kawan sebayanya
yang masih hidup. Secara pasti hal tersebut tidak dapat ditentukan. Oleh sebab
itu, beliau menyerahkan kepada Ijtihad hakim. Hakim dapat memberi vonis
kematian si mafqud menurut ijtihad-nya demi suatu kemashalatan.
3. Abdul Malik Ibnul-Majisyun mefatwakan agar si mafqud tersebt mencapai umur 90 tahun beserta umur sewaktu kepergiannya. Sebab menurut kebiasaan, seseorang itu tidak akan mencapai umur 90 tahun. Beliau menyatakan alasan tersebut berdasarkan Hadits Rasul SAW yang berbunyi “Umur-umur umatku itu antara 60 sampai 70 tahun.”
3. Abdul Malik Ibnul-Majisyun mefatwakan agar si mafqud tersebt mencapai umur 90 tahun beserta umur sewaktu kepergiannya. Sebab menurut kebiasaan, seseorang itu tidak akan mencapai umur 90 tahun. Beliau menyatakan alasan tersebut berdasarkan Hadits Rasul SAW yang berbunyi “Umur-umur umatku itu antara 60 sampai 70 tahun.”
4. Imam Ahmad berpendapat bahwa di dalam menetapkan status hukum bagi si mafqud, hakim harus melihat “situasi” hilangnya si mafqud tersebut. manurut beliau situasi hilangnya si mafqud itu dapat dibedakan atas:
i. Situasi
kepergiannya atau hilangnya itu memungkinkan membawa malapetaka. misalnya dalam
situasi naik kapal tenggelam yang kapalnya pecah dan sebagian penumpannya telah
tenggelam atau dalam situasi peperangan, maka setelah diadakan penyelidikkan
oleh hakim secermat-cermatnya, hakim dapat menetapkan kematiannya setelah lewat
empat tahun lamanya.
ii. Situasi
kepergiannya itu menurut kebiasaan tidak sampai membawa malapetaka. misalnya
pergi untuk menurut ilmu, ibadah haji, dan sebaginya, tetapi kemudian ia tidak
kembali dan tidak diketahui kabar beritanya lagi dan dimana domisilinya, maka
dalam hal seperti itu diserahkan kepada hakim untuk menetapkan status bagi si
mafqud menurut ijtihad-nya.
Walaupun demikian,
praktek pelaksanaannya di pengadilan agama, bahwa mengenai ada atau tidaknya
kewenangan untuk menetapkan/menghukumi status bagi mafqud tersebut (dengan
menyatakan ia telah meninggal atau belum) masih bersifat masih dapat
diperdebatkan (debatable).
C. Pembagian warisan seseorang yang dianggap hilang
(Mafqud)
Permasalahan yang
berkenaan dengan kewarisan, hingga saat ini belum ada ketentuan-ketentuan kapan
seseorang yang hilang dapat ditentukan statusnya. Oleh karena itu, dalam
menetapkan status bagi si mafqud diperlukan suatu pembuktian yang sangat
cermat. Lalu yang menjadi permasalahan, kapan harta si mafqud dapat diwarisi
oleh para ahli warisnya?
Menurut para
ulama, setelah hakim memutuskan si mafqud telah meninggal dunia pada suatu
tanggal yang ditentukan berdasarkan pada dalil-dalil yang menimbulkan dugaan
kuat kematiannya, maka mafqud itu dipandang meninggal dunia, pada waktu
keluarnya penetapan hakim.
CONTOH KASUS
Seseorang yang
meninggal dunia meninggalkan seorang Isteri yaitu Asyimah binti Kalil (A), Ibu
yaitu Juheriah binti Massere (B), seorang anak laki-laki yang mafqud yaitu
Wawan bin Aman Irah (C), seorang anak perempuan yaitu Nani binti Aman Irah (D)
dan serta seorang saudara kandung bernama yaitu Yusuf bin Ali Umar (E). Harta
peninggalannya sejumlah Rp.120.000.000,- Bagaimanakah pembagian warisannya
menurut ajaran patrilineal syafi’i?
Skema Kasus
c
D
Apabila mafqud
belum dinyatakan mati
A = 1/8 df
(Q.4:12e) x Rp.120.000.000 = Rp.15.000.000,-
B = 1/6 df
(Q.4:11d) x Rp.120.000.000 = Rp.20.000.000,-
Sisa =
Rp.120.000.000 – Rp.15.000.000 + Rp.20.000.000 = Rp.85.000.000,-
C dan D memperoleh
sisa sebagai asabah
C : D = 2 : 1
(Q.4:11a)
C = 2/3 x sisa =
2/3 x Rp.85.000 = Rp.56.700.000,-
D = 1/3 x sisa =
2/3 x Rp.85.000 = Rp.28.300.000,-
E = Terhijab oleh
C
A + B + C + D + E
= Rp.15.000.000 + Rp.20.000.000 + Rp.56.700.000 + Rp.28.300.000 =
Rp.12.000.000,- (harta habis dibagi).
Apabila mafqud
telah dinyatakan mati
A = 1/8 df
(Q.4:12e) x Rp.120.000.000 = Rp.15.000.000,-
B = 1/6 df
(Q.4:11d) x Rp.120.000.000 = Rp.20.000.000,-
D = 1/2 df
(Q.4:11c) x Rp.120.000.000 = Rp.60.000.000,-
E mendapat sisa
sebagai asabah (Q.4:176c) yaitu Rp.120.000.000 – Rp.15.000.000 + Rp.20.000.000
+ Rp.60.000.000 = Rp.25.000.000,-
A + B + D + E =
Rp.15.000.000 + Rp.20.000.000 + Rp.60.000.000 = Rp.120.000.000,- (harta habis
dibagi).
Dengan demikian,
harta peninggalan mafqud diwariskan oleh ahli waris yang ada pada waktu itu.
Para ahli waris yang telah meninggal dunia sebelum adanya penetapan hakim tidak
mewarisinya, karena tidak terpenuhinya syarat kewarisan, yaitu meninggalnya si
pewaris baik secara hakikatnya (mati haqiqy) maupun secara hukum (mati hukmy).
Oleh karena itu, harta warisan yang sudah dibagi dan ketika si mafqud hadir
kembali sudah melampaui 4 (empat) tahun, maka ia tidak bisa meminta kembali
harta warisan yang sudah dibagikan. Apabila si mafqud hadir sebelum 4 (empat)
tahun, maka ia dapat memintakan kembali harta yang belum dipakai oleh ahli
warisnya yang merupakan harta warisan.
Berdasarkan uraian
diatas dapat penulis mengambil benang merah, antara lain:
1. Status hukum
bagi si mafqud (meninggal atau tidak) sangat berpengaruh pada kehidupan bahtera
keluarga, terlebih apabila menyangkut dengan keluarga besar yang terdiri dari
orangtua, saudara-saudara.
2. Status hukum si
mafqud dapat ditetapkan dan dimintakan kepada hakim pengadilan negeri, atas
suatu persitiwa yang menimpa pihak-pihak yang berkepentingan, sehingga akan
semakin jelas dari pihak-pihak yang ditinggalkan.
3. Dalam
menetapkan status si mafqud, seorang hakim harus berasaskan bebas tapi terikat,
yang artinya bebas memakai penafsiran dan berijtihad dengan dalil-dalil dengan
sungguh-sungguh, tetapi terikat dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
dan peraturan perundang-undangan di Indonesia, sehingga dalam pembagian warisan
kepada masing-masing pihak yang berkepentingan tidak menimbulkan konflik dan
adanya pembagian yang seadil-adilnya.
Dari kesimpulan
yang dijabarkan diatas dapat memberi rekomendasi antara lain:
1. Dalam
memutuskan perkara, maka hakim peradilan agama benar-benar harus menggali dan
berijtihad dengan sungguh-sungguh agar dalam memutuskan perkara tidak ada
kesalahan dan tidak ada rasa ragu-ragu.
2. Selain itu, ada kekurangan dalam produk legislasi Indonesia, dimana tidak mengatur dengan jelas dan tegas dalam undang-undang bagaimana penyelesaian serta akibat-akibat yang harus ditanggung ketika ada seseorang yang hilang, seperti halnya dalam bidang kewarisan.
2. Selain itu, ada kekurangan dalam produk legislasi Indonesia, dimana tidak mengatur dengan jelas dan tegas dalam undang-undang bagaimana penyelesaian serta akibat-akibat yang harus ditanggung ketika ada seseorang yang hilang, seperti halnya dalam bidang kewarisan.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar